Tulisan ini untuk diriku dan kalian—siapapun yang sedang berjuang di perantauan.
Tuhan,
malam ini aku terbangun di sepertiga malam.
Ya,
tak seperti biasa santri santri lakukan di tengah malam yang bangun untuk
menunaikan “tahajud”. Kali ini aku terbangun. Dengan wajah yang masih
berantakan, aku duduk di atas alas tempat tidurku. Sambal menengadahkan
kepalaku ke atas, menatap langit-langit kamar yang sengaja kugelapkan.
Bagaimana
bisa aku tertidur lelap? sedang orangtuaku disana hanya mampu memejamkan mata
barang satu jam-dua jam saja
Bagaimana
aku bisa makan dengan lauk yang enak ? sedang orangtuaku di rumah hanya makan
dengan lauk yang sangat sederhana.
Bapak
mati-matian banting tulang, mencari uang halal, demi sebuah gelar
"Sarjana" yang akan disandang oleh anaknya nanti.
Dan
Ibu yang memikirkan bagaimana kuliahku, apakah kondisiku baik-baik saja, apakah
aku telat makan, apakah aku dapat berteman dengan baik, apakah dosenku
menyukaiku—
Dan
masih banyak lagi.
Tuhan,
malam ini aku terbangun di sepertiga malam.
Aku
menunduk. Memejamkan mataku, dan membiarkan air mata mengalir deras di baju
yang aku kenakan.
Betapa
dosanya aku jika saat menelepon orangtuaku dan hanya keluhan yang aku
keluarkan,
"Bu,
aku sakit."
"Pak,
uang aku habis."
Betapa
dosanya aku jika saat orangtua meneleponku malah kuberi jawaban menyakitkan,
"Nanti
lagi teleponnya, Bu. Tugasku masih banyak."
Ibu
ngapain telepon? Aku masih ngerjain tugas."
Betapa
dosanya aku jika aku sampai lupa menanyakan kabar orangtuaku karena kesibukanku
di dunia perkuliahan,
Betapa
dosanya aku jika tidak merasakan rindu kasih orangtua jika mereka tidak
meneleponku selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, atau mungkin
berbulan-bulan?
Segitu
tidak peka kah aku kalau mereka sedang rindu?
Segitu
tidak peka kah aku kalau mereka ingin mendengar suaraku?
Segitu
tidak peka kah aku—
Tuhan,
malam ini aku terbangun di sepertiga malam.
Kubiarkan
air mataku bercucuran membanjiri selimut tidurku,
Aku
salah jika liburan nanti aku pulang ke kampung halaman hanya menghabiskan waktu
untuk tidur di kamar. Merasakan kembali hangatnya kasur sendiri, merasakan
kembali tidur tenang selama seharian.
Aku
salah jika liburan nanti aku pulang ke kampung halaman hanya untuk bermain
bersama teman lamaku, teman SMA, SMP, bahkan SD.
Aku
salah jika liburan nanti aku pulang ke kampung halaman, tidak membawa kabar
baik untuk orangtua.
Aku
salah, Bu, Pak. Jika liburan nanti aku pulang ke kampung halaman, tidak
bersalaman dengan kalian, mencium pipi kalian, memeluk kalian, lalu mengobrol
hangat, bertukar cerita dengan kalian.
Bu,
Pak. Anakmu ini sedang berjuang. Aku mungkin tidak sepintar teman-temanku yang
lain, aku juga tidak lebih rajin dari mereka, apalagi soal organisasi—aku masih
sering bingung membagi waktuku untuk mengaji, kuliah, organisasi dan
mengerjakan tugas kuliah.
Tapi...
Bu,
Pak. Percayalah, anakmu ini akan selalu memberikan yang terbaik disetiap detik,
menit, dan jam yang terlewati.
Aku
tidak menjanjikan bahwa aku lulus dengan gelar mahasiswa terbaik. Aku tidak
menjanjikan besarnya indeks prestasi kumulatif yang kudapat. Aku tidak
menjanjikan sertifikat-sertifikat juara yang kuterima, atau
sertifikat-sertifikat organisasi yang kuikuti. Aku hanya bisa menjanjikan aku
akan memberikan yang terbaik. Hanya untuk kalian.
Kan
kupersembahkan gelar Sarjanaku untuk kalian.
Dari
aku yang hidup di perantauan.
By: ikhwan din
Tidak ada komentar:
Posting Komentar