Suka - Duka menjadi Muadzin Krapyak
Mencoba merasa
dekat dengan Tuhan adalah impian semua orang beriman. Jangankan hanya ingin
dekat, memanggil Tuhan dalam adzan pun, terkadang diidam-idamkan. Bahkan
saing-saingan.
Tapi ini bukan
soal bersenandung enak di bawah lindungan payung Adzan. Sama sekali bukan. Ini
persoalan penghargaan terhadap hak publik. Kalau soal ber-adzan saja, anak
kecil juga bisa.
Ada perbedaan
jelas ketika kita mencoba adzan sendiri dalam kamar misalnya, dengan
mengumandangkan adzan di Masjid. Sama-sama mengumandangkan adzan, tapi yang
satu di ranah privat sedangkan satu yang lain di ranah publik. Otomatis
pertimbangan-pertimbangan publiklah yang fardhu terlebih dahulu harus
diselesaikan. Jadi sebelum Anda Adzan, mbok dikiro-kiro, apakah Adzan
Anda sudah enak dan pantas didengarkan khalayak. Tidak langsung nyelonong
nyalain microphone dan adzan. Kecuali, kalau tidak terpaksa juga, misal sudah
menanti lama tapi muadzin belum datang-datang.
Kita susah
menyadari bahwa telinga kita adalah organ pertama yang sanggup kita gunakan
sejak pertama kali dilahirkan. Pendengaran akan merespon penglihatan serta
mulut untuk bekerja. Akan sia-sia bila kita mencoba untuk menahan telinga kita
untuk tidak mendengar, barang sekali pun.
Meskipun kita sedang terkonsen pada satu hal, pasti hal lain disekitar kita
akan terdengar pula. Orang yang berbicara lebih dari lima meter, sedikit banyak
akan kita dengar. Bahkan dalam kondisi tidur pun, telinga masih bisa berfungsi.
Lain dengan mata dan mulut yang bisa ditahan dan atau dibatasi fungsinya dengan
menutup. Karenanya kita diadzani di telinga sebelah kanan dan diiqomahi di
sebelah kiri.
Pun tatkala bagaimana
kita sensitif lantas agresif dengan omongan orang, itu sebab kita mendengarkan.
Pendengaran adalah kunci. Agresifitas kita itu bukan semata karena mereka yang
berbicara. Melainkan kita yang benar-benar tidak bisa menahan telinga untuk
tidak mendengar.
Sejalan dengan
itu, di Krapyak ada hal yang sedemikian menarik, yang telah ada dan hampir
pasti dilakukan, yaitu sikap ketidakseganan bila ada santri adzan di Masjid
pusat atau di sekitaran komplek pesantren Krapyak yang kebetulan terdengar
kurang nyaman di telinga, lantas adzan yang terdengar seketika itu pula banjir reaksi
dengan berkoar-koar, “Mudun Kang! Mudun!”, “Suoromu Elek Kang!”, “Jo Baleni
Maneh Kang!”, “Adzan nang Masjid liyo wae Kang!”, bahkan sindiran “Adzano maneh
Kang! Adzanmu enak dewe!”. Kecaman ini mencuat sebab publik merasa haknya untuk
mendengar keindahan telah dirampas. Sebenarnya saya dulu sempat shok dan gumun,
"ini ada orang adzan kok malah dibalas kek gini. Mending dia, mau adzan
meskipun ya kayak begitu suaranya. Daripada kalian yang hanya sanggup
berkoar-koar", geremangku dulu pas awal lihat kek gituan.
Jelas lain
cerita jika adzannya bagus dan enak. Umpatan-umpatan "macam mencegah
kedholiman" seperti itu, mustahil terdengar (Sebentar, ini bukan soal
umpatannya. Tetapi soal reaksi mencegah kedhaliman). Berganti dengan suasana
yang tenang, adem ayem toto rahardjo. Bahkan, sekarang ini tidak sedikit pula,
santriwati-santriwati yang kagum, hingga menjadikan adzannya sebagai story di
WA ataupun Instagram. Eh. Dan tidak jarang pula, adzan itu mengantarkannya pada
tangga ketenaran dan fans yang melimpah ruah, seperti yang dialami teman
sekamarku yang rempong ngurusi para fans-nya.
Pernah suatu
ketika, dikala Mbah Zainal Abidin Munawwir masih sugeng, ada santri adzan di
Masjid Krapyak, ketika adzan, ekspresi dia terlihat tenang, santai dan
menjiwai. Di luar itu, para santri yang kebetulan kompleknya berada di
sekeliling masjid, berkoar-koar kurang bersahabat. Kemudian, semua itu berubah
ketika ada seorang santri yang menghampirinya tatkala ia selesai adzan, dan
berbicara dengan lirih,
“Kang, sampean
dipadosi Mbah Zainal. Ken rawuh ten ndalem. Sakniki.”.
Sontak dia
kaget. Ekspresinya berubah antara bingung dan sumringah.
“Wah,
tumben-tumben Mbah Zainal manggil saya. Jangan-jangan mau….”
Setelah menuruti
apa kata santri itu, muadzin tadi beranjak dari duduknya dan berjalan menuju
ndalem Mbah Zainal, yang tempatnya bersebelahan dengan Masjid. Tak
disangka-sangka, sekembalinya dari ndalem, wajah muadzin itu sangat lusuh,
pucat dan diam seribu bahasa.
Usut punya usut,
ternyata Mbah Zainal tidak menghendaki dia untuk adzan di Masjid Krapyak lagi.
Alasan Mbah Zainal kurang menghendaki adalah pertama, kurang sepaham
dengan makhrojnya, kedua, kualitas suaranya tidak untuk konsumsi umum. Ya
bagaimana lagi, mafhum mukholafahnya demikian, adzan merupakan panggilan salat.
Jika panggilan menyerukan sembahyang tersebut kurang menarik perhatian, jangan
salahkan bila masyarakatnya pun enggan menerima panggilan tersebut. Masjid pun
menjadi sepi. Nah, dari sini persoalan adzan pun, harus memafhumi publik.
Belajar dari
peristiwa itu, istri Mbah Zainal yakni Ibu Nyai Ida Fatimah Zainal melakukan
semacam pen-taskhih-an bagi para muadzin-muadzin di Masjid Krapyak hingga saat
ini. Semacam tes untuk bisa menjadi muadzin tetap di Krapyak. Diam-diam,
musabab ini pula yang membuat saya menghindar untuk mengumandangkan Adzan di
Masjid Krapyak lagi. Saya menyadari, ternyata ora gampang lur dadi muadzin
Krapyak iku.
----
Telinga itu
sendiri, menurut saya, adalah kristal literatur Islam yang membedakannya dengan
keilmuan barat yang berdasar hanya dengan panca indera. Kita sering membaca
riwayat hadis dengan redaksi “saya mendengarkan dari”, “saya mendengarkan
begini”, dan semacam itu. Bahkan hampir keseluruhan hadis itu diriwayatkan dari
hasil “mendengarkan”. Al-Qur’an juga mendahulukan “pendengaran” daripada
“penglihatan” (QS.2:07,20, QS.6:46, QS. 10:31, QS. 16:108, QS. 19:38, QS.
45:23). Mungkin, barangkali tradisi lisan sempat disepelekan oleh Barat, akan
tetapi, faktanya tradisi lisan telah melahirkan peradaban yang unggul bagi
masing-masing peralihan peradaban. Penonjolan atas kekuatan pendengaran dalam
tradisi keilmuan Islam merupakan nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam
Al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar